Sabtu, 31 Mei 2008

PENTINGNYA MEDIA DI SEKOLAH

Oleh : Tri Wulandari
1102406048


Menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sebuah media massa perlu dimulai sejak awal. Sekolah sebagai basis para kaum muda bisa dimanfaatkan sebagai jalan masuk utama menuju tingkat kesadaran tersebut.

Tidak dapat dipungkuri bahwa peran media sangat berpengaruh dalam berbagai hal. Peran terbesarnya untuk memberikan informasi bagi masayarakat luas membawa media massa menjadi sesuatu hal yang wajib diberdayakan.

Sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan tidak lepas dari keterikatan tersebut. Salah satu wujud media massa yang ada di sekolah biasanya dalam bentuk majalah. Majalah sendiri kemudian bisa terbagi lagi menjadi dua yaitu majalah dinding atau majalah cetak. Apapun bentuknya majalah tetap menjadi salah satu sarana komunikasi intern yang cukup efektif. Beberapa sekolah juga sudah menyediakan media lain seperti web-site yang membuka sekolah pada komunikasi global.

Seberapa pentingkah peran media massa di sekolah? Hal utama yang menjadi peran penting terciptanya media massa di sekoloah tentunya menyalurkan informasi. Memang sudah menjadi tugas dan tanggung jawab media untuk memberikan informasi kepada siapa saja yang membutuhkannya. Bila dalam pengadaaan majalah hanya mencakup wilayah tertentu, teknologi internet sangat menolong dalam proses penyaluran informasi dengan cakupan yang lebih luas, bahkan sangat luas.

Namun kepentingan media massa di sekolah tidak hanya terbatas pada tahap di atas. Bila dilihat lebih jauh lagi, peran media massa di sekolah merupakan bibit dari terbentuknya media massa di luar sekolah. Inilah awal dari budaya menyalurkan pendapat dan budaya menulis. Media massa di sekolah menjadi perintis usaha pengembangan media massa yang lebih luas di tengah masyarakat umum.

Budaya berpendapat
Ini menjadi suatu kebiasaan penting yang perlu dikembangkan baik di sekolahmaupun di luar sekolah. Terutama bagi masyarakat Indonesia yang terkadanag sudah terdoktrinasi untuk tidak berpendapat secara terbuka. Kita lebih terbiasa menyampaikan suatu pesan secara tersirat atau mungkin tidak menyampaikannya sama sekali.

Terlebih lagi anak-anak. Mereka terkadang mendapatkan halangan untuk bisa berpendapat. Kecenderungan itu terjadi karena pola dasar budaya yang ada di Indonesia sering kali mendiskriminasi pendapat anak-anak. Banyak orang tua yang cenderung membungkam anaknya untuk berbicara macam-macam. Entah karena takut akibatnya atau karena tidak suka punya anak yang cerewet (rewel).

Namun budaya tersebut terkadang menjadi halangan tersendiri bagi kita untuk mengungkapkan pendapat kita. Dampak yang lebih luas lagi banyak sekali kebenaran yang tidak bisa terungkap. Inilah sebab mengapa buadaya untuk berpendapat dapat dikatakan sebagai sesuatu yang penting dan wajib dikembangkan.

Cukup masa orde baru saja media massa diberangus untuk tidak bicara, sekarang saatnya media terbuka. Tetapi perlu disadari juga keterbukaan dan kebebasan media massa bukan berarti bebas tanpa batas. Media juga harus mengikuti etika-etika yang membatasi kebebasan mereka. Medis harus sadar betul bahwa di sekelilingnya ada kepentingan lain yang tidak bisa ditabrak begitu saja.

Adanya media massa di sekolah membuka peluang besar bagi siswa untuk menyampaikan pendapat dalam bentuk tulisan baik fiksi maupun non-fiksi. Semua itu merupakan ungkapan tentang sesuatu yang ada di pikiran mereka. Belajar mengungkapkan sesuatu adalah tahap awal pembentukan budaya berpendapat.

Budaya Menulis
Kebiasaan menulis tidak bisa dilepaskan begitu saja dari kebiasaan membaca. Maka menulis juga menjadi hal yang sangat penting mengingat keinginan untuk menulis akan selalu diikuti kebiasaan membaca. Biar bagaimanapun untuk dapat menuliskan sesuatu, seseorang perlu membaca untuk menadapatkan materi yang akan dimasukkan dalam tulisannya.
Seperti yang diunggkapkan Monsinyur Datus, Uskup Sorong, Irian Jaya, di tengah misa bersama Forum Agenda 18(Perkumpulan Penulis Katolik di Bawah Komisi Sosial KWI) di Gedung KWI Cikini. Ia mencertakan pengalamannya ketika pertama kali tulisannnya berhasil di muat di media massa. Waktu itu usianya 21 tahun, ia begitu senang karena hal itu. Namun prosesnya ternyata tidaklah mudah.

Tulisan yang ia hasilkan itu adalah hasil dari sebuah proses panjang selama bertahun-tahun. Sejak ia masih berusia 12 tahun, di seminari (sekolah untuk calon pastor), ia sudah mulai melahap buku-buku bacaan. Semua buku seperti Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan buku-buku lain yang ada pada massa itu. Dengan modal bacaan selama bertahun-tahun itulah akhirnya ia bisa menghasilkan tulisan yang dimuat di media massa.

Bukan proses yang mudah. Karena untuk menghasilkan sebuah tulisan dengan isi yang berkualitas, tentunya perlu ada materi dan argumen yang kuat. Selain itu penguasaan kosa kata juga diperlukan ketika ingin menulis sebuah artikel. Semua unsur tersebut dapat diperoleh dengan membaca.

Keberadaan media di sekolah sebagai pemicu minat menulis, secara tidak langsung juga menuntut adanya peningkatan pada minat baca. Romo Alex dari Komisi Sosial KWI sangat prihatin karena pada saat ini budaya yang lebih menonjol adalah budaya menonton daripada budaya membaca. Kebanyakkan orang lebih senang menonton sesuatu dari pada membaca buku. Maka ketika media massa di sekolah bisa menjadi sarana untuk menyemangati siswa menulis sekaligus membaca, tentunya akan menjadi sesuatu yang berdampak positif.

Ternyata keberadaan media massa di sekolah tidak hanya sebagai penyalur informasi semata. Ada hal yang sangat penting bagi bangsa ini di masa depan hanya dimulai dari media massa di sekolah. Peran penting itu tentunya akan menjadi lebih berguna lagi bila kita yang ada di dalamnya bisa ikut aktif terlibat.(xa)
Sumber : http://www.sanurbsd-tng.sch.id/sr_innova/index.asp?fuseaction=lanjut1&id=45